KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari Berguru ke KH Soleh Darat
Kliping.id-Kemarin (29/7) saya menjadi khatib di Masjid Al Ikhlash Depok. Saya menyampaikan tentang makna hijrah.
Hijrah secara bahasa artinya meninggalkan sesuatu. Menurut Islam, hijrah meninggalkan sesuatu dari yang buruk ke yang baik. Meninggalkan tempat yang buruk ke tempat yang baik.
Tahun baru Hijriyah pertama kali ditetapkan oleh Khalifah Umar bin Khattab atas saran Sayidina Ali. Umar menetapkan hijrah sebagai permulaan penanggalan Islam -bukan kelahiran Nabi- mungkin didasarkan pada kenyataan, hijrah adalah puncak keberhasilan perjuangan Nabi. Bila di Mekkah dakwah Nabi memperoleh sambitan, di Madinah memperoleh sambutan.
Di Madinah Rasulullah berhasil membangun masyarakat yang Islami. Masyarakat yang adil dan makmur. Di Madinah orang-orang non Muslim diberikan tempat yang layak. Tidak ditindas. Peperangan kepada Yahudi Madinah waktu itu terjadi karena pengkhianatan Yahudi itu sendiri.
Menarik juga membaca pemikiran Sosiolog Islam, Ali Syariati. Ia mengungkap bahwa hijrah adalah konsep yang universal. Bangsa-bangsa yang besar, seperti Cina dan Amerika, karena melakukan gerak perpindahan (hijrah). Kita mengenal bagaimana bangsa Cina berani mengarungi dunia. Amerika menjadi negara besar, karena adanya banyak perpindahan warga berbagai belahan dunia pindah ke sana.
Maka jangan heran dulu warga Minangkabau terkenal dengan konsep ‘hijrahnya’. Untuk berhasil meraih kesuksesan, mereka harus pindah dari kampungnya.
Sebelum tahun 1945, tokoh-tokoh di tanah air banyak berasal dari Minangkabau. Hamka, Natsir, Hatta dan lain-lain. Minangkabau yang masyarakatnya dijiwai Islam, para pemuda yang telah mempunyai ilmu dan iman, harus mengembara mencari pengalaman di daerah-daerah lain.
Maka mengembaralah Natsir mencari ilmu di Jawa, khususnya Bandung. Mengembaralah Hamka ke Jawa dan Mekkah. Mengembaralah Hatta ke Belanda.
KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan berpindah-pindah tempat mencari guru yang hebat. Sehingga keduanya akhirnya bertemu dengan kiyai yang hebat, KH Sholeh Darat di Semarang. Tidak puas dengan itu, mereka juga langsung pergi ke Mekkah untuk berguru pada ulama-ulama yang hebat di sana waktu itu.
Bila dulu para santri yang hebat mau berguru kepada banyak ulama, kini ditemukan kelompok-kelompok tertentu yang takut ngaji pada ustadz atau ulama lain. Mereka takut mendengar ceramah atau membaca buku atau kitab dari kelompok lain. Mereka harus membaca buku yang diperbolehkan kelompoknya saja. Sehingga terjadi kejumudan. Cakrawala berfikirnya tidak luas dan mudah membidahkan atau mengafirkan.
Mempelajari atau membandingkan pendapat berbagai ulama, terhadap sebuah masalah, menurut saya, juga hikmah dari konsep hijrah ini. Hijrah dari kejumudan menuju keluasan dalam berfikir.
Salah satu kemajuan Barat, karena mereka terus memperbarui pemikiran mereka, mulai dari Yunani hingga ke ilmuwan mereka sekarang. Bahkan mereka juga kadang mengambil pendapat ulama-ulama Islam. Sayangnya dalam hal keilmuan, mereka membuang konsep Tauhid. Sehingga keilmuan mereka menjadi sekuler dan mengalami krisis kemanusiaan
Maka saatnyalah 1444 Hijriyah ini, kita berhijrah. Tinggalkanlah melarang atau membatasi para mubaligh yang bagus keilmuannya. Melarang seorang ustadz berceramah di sebuah daerah, sebenarnya kini nggak ada gunanya. Karena para ustadz itu bisa berceramah lewat youtube atau internet. Dan para santri atau aktivis Islam yang aktif, ia akan mencari ilmu dimanapun, baik online atau offline.
Sikap seorang Muslim itu harusnya menyimak baik-baik pemikiran, ucapan atau tindakan seseorang. Bukan antipati. Ia dapat mengambil hikmah dari berbagai pendapat tokoh dunia atau tokoh masyarakat. Kalau itu baik dan tidak bertentangan dengan syariat, ia ambil. Kalau tidak baik, ia tinggalkan atau ia kritisi. Ia selalu ingin mengikuti pendapat atau pemikiran terbaik. Al Qur’an mengingatkan,” Yaitu yang mendengarkan, lalu mengikuti yang terbaik. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat/Ulil Albab.” (QS Az Zumar 18).
Penulis : Nuim Hidayat, Dosen Akademi Dakwah Indonesia Depok