Pemanfaatan Karbon Biru untuk Mengatasi Tantangan Perubahan Iklim di Indonesia
KLIPING.ID, JAKARTA–Ekosistem lahan basah di Indonesia khususnya laut dan pesisir memiliki kemampuan menyimpan karbon hingga empat kali lipat dibandingkan hutan tropis. Apabila ekosistem karbon biru seperti mangrove, lamun dan terumbu karang dijaga dengan baik, dampak baiknya tidak hanya untuk mengatasi tantangan perubahan iklim, tetapi juga memberikan nilai jasa lingkungan untuk masyarakat lokal. Guna membahas implementasi pengelolaan, pemanfaatan, dan upaya-upaya perlindungan karbon biru di lapangan yang melibatkan masyarakat pesisir, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kembali menyelenggarakan Diskusi Pojok Iklim pada Hari Rabu, 18 Agustus 2021 dengan mengangkat tema “Karbon Biru untuk Kita Semua”.
Dalam sambutannya, Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim, Sarwono Kusumaatmadja menyampaikan bahwa karbon biru merupakan sumber jasa lingkungan penyerapan karbon yang berpotensi mengurangi emisi penyebab perubahan iklim, sebagai bagian dari sumber keanekaragaman hayati Indonesia yang berada di ekosistem pesisir. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan kawasan pesisir terpanjang kedua setelah Kanada perlu berusaha keras memanfaatkan potensi jasa lingkungan penyerapan karbon yang ada di kawasan pesisir, kawasan mangrove, lahan basah dan padang lamun/seagrass.
“Dari sudut perkembangan perubahan iklim, terdapat gejala-gejala yang mengkhawatirkan yaitu gejala akselerasi perubahan iklim berupa berbagai bencana yang tidak tipikal, seperti bencana kebakaran di California, Eropa serta Afrika Utara dan mencairnya bongkahan es di Kutub Utara dan Kutub Selatan yang dapat mencapai 2-5 miliar ton/hari,” jelas Sarwono.
Kemudian, Koordinator Pengembangan Kurikulum, Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang dan Perbukuan, Kemdikbud Ristek, Yogi Anggraena menyampaikan bahwa saat ini sedang dilakukan pengembangan kurikulum yang diimplemantasikan secara terbatas di 2500 sekolah penggerak dan 900 SMK pusat keunggulan. Untuk mencapai profil pelajar Pancasila, selain melalui mata pelajaran, juga dilakukan pembelajaran berbasis proyek.
“Begitupun terkait dengan pengendalian perubahan iklim. Selain melalui mata pelajaran, juga dilakukan pembelajaran yang ditunjang melalui proyek yang ada,” ujar Yogi.
Sementara itu, Peneliti Ahli Utama Konservasi Keanekaragaman Hayati, BSI LHK, KLHK, Hendra Gunawan menyampaikan pengalamannya dalam membangun ekowisata mangrove di Karangsong, Jawa Barat sebagai model yang dapat ditiru atau lesson learned bagi tempat lain. Rehabilitasi mangrove dapat menjadi model pemulihan kerusakan lingkungan seperti abrasi masif di Indramayu yang menghilangkan ratusan tambak, serta mitigasi bencana, edukasi dan pemberdayaan masyarakat.
“Rehabilitasi mangrove adalah tentang komitmen bersama, bukan sekedar program. Komitmen jangka panjang perlu ditanamkan dalam pendidikan karakter melalui pendidikan lingkungan hidup tematik mangrove. Melalui ekowisata, edukasi pelestarian mangrove terbukti cukup efektif dan mampu membangkitkan perekonomian masyarakat sekitar melalui terbukanya kesempatan berusaha dan terciptanya lapangan kerja,” ujar Hendra.
Di samping itu, Senior Program Manager, Coral Triangle Center, Hesti Widodo mengatakan Indonesia menjadi titik yang sangat penting pada segitiga karang. Pasalnya, Indonesia memiliki keanakeragaman hayati yang tinggi, tidak hanya terumbu karangnya, tapi juga mangrove, padang lamun yang luas, keragaman ikan dan lainnya.
Hesti menerangkan, pemerintah Indonesia bersama negara lainnya sudah masuk pada mosi menargetkan untuk perlindungan sumber daya laut. Dibutuhkan upaya bersama dengan target melestarikan 30% laut di dunia pada tahun 2030. Faktanya, saat ini walaupun laut menutupi 70% wilayah permukaan bumi, hanya 2% saja yang terlindungi penuh dan menyeluruh dari kegiatan yang merusak.
“Saat ini istilah karbon biru belum menjadi familiar. Masyarakat masih asing dengan karbon biru. Untuk lebih mempopulerkan atau memprioritaskan karbon biru, diperlukan peningkatan kesadaran masyarakat, kebijakan sebagai dasar serta panduan dan penerapan secara aktif di lapangan bersama kelompok target pembuat kebijakan dan masyarakat umum,” terang Hesti.
Lebih lanjut, Ketua Perkumpulan Warna Alam Indonesia (WARLAMI), Myra Widiono, menyampaikan tentang upaya WARLAMI dalam melestarikan budaya bangsa melalui pemanfaatan mangrove sebagai pewarnaan alam. Produk pewarnaan alam dari hutan dan tanaman mangrove berpotensi meningkatkan perekonomian dan pelestarian budaya masyarakat. Karbon biru membutuhkan upaya pelestarian dan pemulihan ekosistem mangrove. Upaya pelestarian dan pemulihan harus berlandaskan hukum, memerlukan keterlibatan masyarakat, dan memerlukan peningkatan kondisi sosial serta perekonomian masyarakat pesisir.
“Untuk itu perlu adanya batasan hukum yang lebih jelas mengenai pemanfaatan hutan mangrove yang sudah dan akan ada, khususnya tentang pemanenan bahan baku mangrove. Hal ini agar tidak ada keraguan dalam upaya eksplorasi kreasi, serta meningkatkan produksi pewarna alam yang menggunakan mangrove sebagai Objek Pelestarian dan Pemajuan Kebudayaan,” kata Myra.
Penasihat Senior Menteri LHK, KLHK, Soeryo Adiwibowo dalam sambutan penutupnya menekankan bahwa arti penting karbon biru di Indonesia tidak hanya untuk strategi penanganan iklim, tapi juga keanekaragaman hayati dan nilai kultural yang sangat luar biasa.
“Mangrove menjadi sarana edukasi di tempat wisata sehingga bisa menambah informasi pengunjung. Mangrove juga diterapkan dalam muatan lokal sekolah dan harapannya kurikulum yang ditanam bisa berbuah,” ujar Soeryo.
Diskusi virtual yang dipandu oleh Peneliti Ekologi Mangrove, BSI LHK, KLHK, Virni Budi Arifanti ini dihadiri oleh lebih dari 400 peserta yang terdiri dari Kementerian/Lembaga, organisasi non-pemerintah, perguruan tinggi, privat dan individu.*