Salawat Tarhim Andalan Jelang Subuh
Kliping.id-Ashshalatu wassalamu alaik_
_Ya imamal mujahidin, ya Rasulallah._
_Ashshalatu wassalamu alaik_
_Ya nashiral huda, ya khaira khalqillah._
SEPERTINYA ada konsensus tak tertulis diantara para merbot: “wajib” memutar kaset Salawat Tarhim gubahan Syaikh Mahmud Khalil Al Hussary. Lantunan syair syahdu itu pun terdengar menjelang waktu salat tiba. Berkumandang lewat pengeras suara di surau, langgar, juga masjid di kota besar hingga di pelosok negeri ini.
Selama Ramadan, salawat ini diperdengarkan sebagai petanda jeda waktu sahur hingga azan Subuh. Tersebab itulah, tarhim ini juga disebut Tarhim lmsak. Kendati sarat berisi pujian, namun syair yang bertutur tentang keutamaan akhlak Rasulullah Muhammad SAW ini bukan dimaksudkan sebagai manifestasi okultisme atawa pengkultusan.
Simak saja bunyi syair yang kemudian menjadi warisan penting bagi dunia Islam ini. Setelah mengucap salawat serta salam agar tercurahkan kepada Sang Rasul, pemimpin para pejuang, lalu disusul kalimat _ya nashiral huda, ya khaira khalqillah_. Duhai penuntun petunjuk llahi. Wahai makhluk terbaik, dan seterusnya …
Resital karya _qari_ legendaris ini termasyhur karena punya ciri khas yang unik: suaranya berat, tebal dan jernih. Pelafalannya sempurna. Alunan suaranya masih terngiang di telinga saya sampai kini. la laksana kekuatan ghaib yang mampu menggiring ke lorong waktu masa kanak.Tatkala kesalehan personal sedari dini digembleng lewat mengaji, belajar _makharijul huruf_, _tajwid_ dan _qira’ah_ dasar, berikut ilmu-ilmu alat dirasatul Islamiyah, menghafal surat-surat pendek, lalu mengkhatamkan Quran.
Kesalehan Al Hussary tercermin dari riwayat hidupnya. Lahir di kawasan Tanta, di Utara Kairo, Mesir, beliau sudah menghafal Quran ketika berumur delapan tahun. Sepuluh jenis _qira’ah yang rumit, _qira’ah_ _asyrah, dikuasainya ketika masuk Universitas AI-Azhar. Tokoh yang dijuluki Syaikh AI-Maqari, syaikhnya para ahli _qira’ah_ ini wafat pada 1980, dalam usia 63 tahun, sepantaran dengan usia wafat Nabi.
Hussary mungkin kalah _ngetop_ jika dibandingkan dengan Imam Masjidil Haram, Mekah: Syaikh Abdurrahman As-Sudais, Sa’ad AI-Ghamidi, atau Abdurrahman Al Ausy. Mereka dijadikan idola dalam seni membaca Quran. Tapi bagi saya, sang legenda lebih fenomenal. la setara dengan duo _qari_ top Mesir lainnya: master _tajwid_ Muhammad Siddiq AI-Minshawy dan kampiun tilawah dunia tiga kali pada 1970- an, Abdulbasit Abdussamad.
Suara emas Al Hussary bisa kita nikmati melalui kaset, piringan hitam, cakram padat, maupun piranti digital lainnya. Youtube menyimpan momen langka, manakala sang syaikh didapuk melantunkan ayat-ayat suci di Masjidil Haram. Saking terpesona, banyak _qari_ internasional lalu bersusah-payah meniru, membikin “cover” irama Hussary. Sampai kini, hemat saya, belum ada yang mampu menandinginya.
Kaset dan piringan hitam berisi azan, salawat tarhim, serta bacaan berirama datar tanpa pengulangan _(murattal)_ Hussary pernah dirilis di Tanah Air. Diantaranya bacaan Surah AI-Hujurat dan Ar-Rahman. Stiker kasetnya bergaris warna kuning, hitam, dan oranye. Sedangkan sampul piringan hitamnya putih bergaris tengah biru dengan khat hitam. Kabarnya, dia pernah mampir ke Indonesia, lalu “dibajak” untuk merekam suaranya di studio Lokananta, Solo.
Semasa kecil dulu, saya sering menikmati suara merdu Hussary melalui radio transistor Toshiba. Terkadang melalui radio tabung “mata kucing” Philips yang biasa dipanteng ayah saat sahur. Dari stasiun Radio Yasmara (Yayasan Masjid Rahmat) di kawasan Kembang Kuning, Surabaya, suara rais _jamiatul qura wal huffadz_ Al Azhar ini dipancarkan secara luas sejak 1960-an.
Suara ajaib nan ajib itu mampu menebalkan benteng rohani. Menjadi pengobar semangat agar tetap melek lahir dan batin setelah makan sahur-lalu bersegera subuhan. Meski terdengar lamat-lamat, kalimatnya menggetarkan, menerbangkan jiwa: _wataqaddamta lishsholati fashalla kullu man fissamaa-i wa antal imamu._ Seluruh penghuni langit bersalat di belakangmu, dan engkaulah yang menjadi imamnya.
Salawat ini membawa pesan kemanusiaan sangat mendalam. Juga universal: untuk seluruh penghuni langit, tanpa terkecuali. Sejalan dengan misi _rahmatan Iil’alamin_, rahmat bagi seluruh alam. Spirit ini, dibarengi akhlak luhur tauladan Nabi, semestinya bisa meruntuhkan benteng dan sekat-sekat sektarianisme pembentang jarak antara “kita” dan “mereka”, kelompok “kita” versus “liyan” yang selama ini terbangun begitu tebal dan kokoh.
Semua penghalang itu kudu lebur dalam kepasrahan esoteris yang tak terperi…
*) disempurnakan dari artikel penulis _Oleh: Wahyu Muryadi_di Koran Tempo, 29 Mei 2017.